Langsung ke konten utama

Ngaji Islam Nusantara


Ngaji Islam Nusantara
Dikutip dari rolling discussion PMII Unhas
yang dipantik oleh Kak Nurul Ishlah Maulida




Baik, saya mulai saja seperti yang telah dibahas pada diskusi sebelumnya yang dimana  “Islam Nusantara” Bukan hanya islam yang ada di Nusantara namun bisa dipahami Islam dengan corak, warna, kekhasan, keunikan, karakter, dan budaya Nusantara. Nah, selanjutnya yang akan kita bahas adalah sejarah dan karakter islam nusantara. Nusantara memiliki 10 karakter yang berasal dari  pengaruh sejarah dan letak geografis (kawasan).

Kita akan membahas yang pertama lima karakter pengaruh sejarah yaitu :
1.   Era Kuno. Era ini sering disebut Pra-HinduBuddha yang berasal dari kepercayaan, adat, dan budaya kuno yang “asli” Nusantara. Era ini mempercayai segala macam arwah, kekuatan magis pada alam dan benda. Sering pula disebut “animisme dan dinamisme”. Yang dimana Animisme adalah suatu kepercayaan pada roh-roh nenek moyang, mereka yang menganut animism mempercayai kekuatan-kekuatan ghaib, dan hal-halghaib tersebut dipercayai sebagai roh-roh nenek moyang. Di Indonesia terutama di bagian timur Indonesia, masih banyak yang menganut animisme. Seperti ketika mereka mengadakan upacara-upacara adat, mereka sering mengundang roh-roh nenekmoyang dengan melakukan berbagai ritual dan beberapa sesaji agar roh-roh nenek moyang mereka hadir dan ikut serta dalam upacara adat tersebut. Sedangkan dinamisme adalah suatu kepercayaan pada benda-benda ghaib, sebagai contoh pohon beringin yang besar, mereka yang menganut dinamisme percaya bahwa pohon tersebut memiliki kekuatan yang berbeda dari pohon-pohon yang lain. Mereka kadang menaruh sesaji dibawah pohon dan meminta sesuatu dari pohon tersebut karena, mereka percaya pohon tersebut memiliki kekuatan. Kepercayaan kuna ini sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat-masyarakat adat, seperti Kaharingan di suku-suku Dayak, Kalimantan, Buhun, Sunda Wiwitan, di Jawa Barat, Tonaas Walian, Minahasa, Sulawesi Utara, Tolottang dan Patungtung, Sulawesi Selatan, Naurus, Pulau Seram Maluku.
2.  Era Hindu-Buddha. Era yang dikenal sebagai peradaban melalui kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, mulai Salakan agara (abad ke-2 M), Tarumanagara (abad ke-4 M) di Jawa Barat, Kutai (abad ke-4 M) di Borneo, Kalingga (abad ke-6 dan 7 M) dan Mataram Kuna (7521045 M) di Jawa Tengah, Kahuripan-JenggalaKadiri-Singasari (1019-1292 M) di Jawa Timur, Dharmasraya (1183-1347 M) di Sumatera Barat dan dua kerajaan besar Sriwijaya (600-1100 M) di Sumatera Selatan dan Majapahit (1292-1527 M).
3.     Era Islam. Agama Islam dipercaya sudah tiba ke bumi Nusantara sejak era awal Islam, abad ke-7 M. Bukti-bukti arkeologis ditemukan makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik (1082 M), Sultan Malik Shalih di Aceh Utara (1297 M), Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Gresik (1419 M), namun yang perlu dicatat, dari abad ke-7 M hingga pertengahan abad ke-15, Islam belum dianut secara luas oleh penduduk Nusantara, baru pada era dakwah Islam yang dipelopori oleh jaringan tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan Wali Songo, Islam tersebar luas khususnya di tanah Jawa. Islam dengan cepat terserap ke dalam asimilasi dan sinkritisme Nusantara. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, muncul kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, mulai Demak, Cirebon di Jawa, Kutai Kartanegara di Kalimantan, Gowa dan Buton di Sulawesi, Ternate dan Tidore di Maluku dan lain-lainnya.
4.    Era Kolonial dan Eropa. Era ini dimulai awal abad ke-16 dengan Portugis (1509M) dan Spanyol (1521 M). Portugis yang gagal menguasai Jawa dan terdesak oleh Belanda melakukan kolonialisasi di Indonesia bagian Timur, berbagi dengan Spanyol—VOC (16021800 M), Belanda (1816-1942 M) dan Jepang (1942-1945 M). Pada era ini hadir di bumi Nusantara agama Katholik (1546 M) dan Kristen Protestan (abad ke-16 M).12 Yang penting dari era ini adalah pengaruh modernisme yang dimulai dari nilai-nilai modern dalam budaya kehidupan sehari-hari pendidikan, agama, budaya, gaya hidup, transportasi, hingga cara pikir yang mengedepankan rasionalitas. Tiga kandungan utama dari modernisme adalah teori dan praktik kapitalisme, industrialisasi dan negara bangsa. Pengaruh lain dari era ini adalah Politik Etis: irigasi, edukasi dan transmigrasi ditandai dengan adanya perubahan-perubahan dan kemajuan, khususnya edukasi dengan munculnya “priyayi baru”. Priayi adalah istilah dalam kebudayaan Jawa untuk kelas sosial dalam golongan bangsawan.
5.     Era Indonesia. Dimulai dari Periode Kebangkitan Nasional pada awal abad ke20 dengan berdirinya organisasi-organisasi, lembaga pendidikan, media pers yang membangkitkan kebangsaan dan persatuan Indonesia yang bercita-cita kemerdekaan Indonesia yang terwujud dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang bisa disebut Hari AntiDiskriminasi yang mengakui satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa Indonesia. Hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945. Puncak dari era ini adalah Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Lahirnya Konstitusi Indonesia: UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 setelah melalui proses yang panjang dan perubahan sejak Juni-Agustus 1945 (melewati Piagam Jakarta dan lain-lain sebagainya). Prinsip-prinsip penting yang lahir dari periode ini adalah: (1) kebangsaan (nasionalisme) Indonesia, (2) Pancasila sebagai dasar negara, (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara, (4) Negara Kesatuan Republik Indonesia, (5) Bhinneka Tunggal Ika.

Kelima era tersebut termasuk kedalam lima karakter dengan pengaruh sejarah yang bisa kita lihat pada setiap eranya  Selanjutnya lima karakter lainnya yang dipengaruhi oleh kawasan geografis:
1.     Pengaruh etnis atau suku bangsa yang terindentifikasi berdasarkan persamaan garis keturunan, ras, bahasa, agama, budaya, perilaku dan ciri-ciri biologis. Identitas etnis yang kuat apabila mendiami suatu wilayah khusus (misal pulau). Etnis akan mencair kalau tinggal di kawasan yang majemuk dan terjadi percampuran, misalnya di wilayah urban dan perkotaan. Etnisitas tidak selalu “asli” karena sering hasil dari interaksi dan hasil dari pengaruh yang berasal dari luar kelompok dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok (misalnya ada etnis hasil dari “campuran”. Jumlah etnis di Indonsia lebih dari 1000 suku, yang mayoritas telah mengalami percampuran dan pengaruh dari luar. Suku yang masih berusaha mempertahankan “kemurnian” baik dari sisi keturunan, keyakinan, bahasa, budaya, prilaku disebut masyarakat adat.
2.     Pengaruh budaya dari kawasan yang sekarang disebut “Asia Tenggara” yang dimulai sejak era-pra sejarah, saling pengaruh datang melalui pesisir-pesisir yang bisa disebut kebudayaan maritim, perpindahan penduduk, kemiripian tradisi keyakinan, agama, sastra, adat yang menunjukkan “satu rumpun Asia Tenggara” yang disebut sebagai “Peradaban Pesisir”. Kemiripan adat dan bahasa dalam satu suku bangsa (misalnya suku Melayu di Sumatera, Malaysia, Brunei, dan Patani di Thailand Selatan). Bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa Indonesia setelah sebelumnya menjadi lingua franca (bahasa perantara pada suatu tempat yang memiliki penutur bahasa yang berbeda) di Nusantara.
3.     Pengaruh budaya dari kawasan India dan kawasan “Anak Benua India” yang disebut Asia Selatan. Peradaban India memiliki pengaruh terhadap kawasan Nusantara, baik dari agama, sastra, bahasa dan budaya yang terwujud dalam Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha, peninggalan candicandi, dan adat istiadatnya yang masih melekat dalam masyarakat saat ini. Anak Benua India memiliki pengaruh terhadap datangnya Islam ke Nusantara, seperti Gujarat, Malabar, Sailan (Srilangka), Bangla (Bangladesh).
4.  Pengaruh dari kawasan Tiongkok. Kawasan Tiongkok yang memiliki hubungan dagang dengan Nusantara sejak abad ke-3 M yang warisannya masih bisa kita saksikan saat ini, dari agama Buddha dan Islam (adanya para juru dakwah Islam awal di Nusantara berasal dari Tiongkok), peninggalan bentuk arsitektur (pada masjid-masjid kuna; Masjid Demak, Masjid Kasepuhan Cirebon, Masjid Kudus), budaya dan adat istiadat.
5.     Pengaruh budaya dari kawasan Arab, Persia dan Turki. Ini tampak pada aspek agama dan budaya yang menjadi teori masuknya Islam ke Nusantara dengan versi: dari tanah Arab dan Persia. Tanah Arab yang dimaksud, Haramayn (Makkah, Madinah), Mesir, dan Hadramaut (Yaman). Pengaruh Persia dalam bentuk budaya dan aliran agama Syiah. Sementara Turki melalui Kerajaan Utsmani dengan Kerajaan Aceh dan Demak yang puncaknya perlawanan terhadap Kolonialisme di Nusantara, khususnya terhadap Portugis.

Corak keislaman yang tidak tunggal di Nusantara, telah melahirkan sejumlah teori masuknya Islam dari asalasal yang berbeda. Paling tidak ada 4 teori asal-usul masuknya Islam ke Nusantara.
1. Teori India (Gujarat, Malabar, Deccan, Coromandel, Bengal) hal ini berdasarkan asumsi persamaan madzhab Syafii, batu-batu nisan dan kemiripan tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara. (JP Mosquette, C. Snouck Hurgronje, S.Q. Fatimy)
2.    Teori Arab (Mesir dan Hadramaut Yaman), berdasarkan persamaan dan pengaruh madzhab Syafii. (John Crawfurd, Naguib Al-attas)
3.   Teori Persia (Kasan, Abarkukh, Lorestan), berdasarkan kemiripan tradisi dengan muslim Syiah, seperti Peringatan Asyura (10 Muharram), mengeja aksara Arab jabar (fathah), jer/zher (kasrah), fyes (dhammah), pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw (Ahlul Bayt) dan keturunannya. Penyebutan kata, rakyat (dari ra’iyyah), masyarakat (musyawarah), serikat (syarikah). (Husein Djajadiningrat, Hasjmi, Aboe Bakar Atjeh)
4.  Teori Cina yang berdasarkan asumsi pengaruh budaya Cina dalam sejumlah kebudaaan Islam Nusantara, dan sumber kronik dari Klenteng Sampokong di Semarang (De Graaf, Slamet Muljana).
Kesuksesan islamisasi di tanah Jawa pada abad ke-15  H dengan kedatangan rombongan muslim dari Champa, Raden Rahmat (Sunan Ampel) sekitar tahun 1440 yang memiliki bibi yang diperistri Raja Majapahit. 

Selanjutnya Islamisasi dimulai melalui jaringan para juru dakwah (wali) secara terorganisir dan sistematis, mereka memanfaatkan jaringan kekeluargaan, kekuasaan, kepiawaian mereka merebut simpati masyarakat. Kekuatan gerakan ini terletak pada:
(1) Sufisme yang dimaksud adalah ajaran wahdatul wujud (kesatuan wujud) dan wahdatus syuhud (kesatuan pandangan) sehingga tidak terlalu asing dengan kepercayaan lokal yang mengakui banyak arwah di mana-mana, dan dalam memandang benda-benda alam terpengaruh aura ketuhanan.
(2) Asimilisasi pendidikan adalah pembangunan pesantren yang mendidik generasi-generasi pelanjut dakwah Islam, dalam konteks Raden Rakhmat (Sunan Ampel) terlihat peran anak dan muridnya dalam perkembangan Islam di Jawa, seperti Sunan Bonang dan Raden Fatah sebagai sultan dari kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak.
(3) Gerakan dalam seni dan budaya dalam bentuk wayang yang disesuaikan dengan kisah dan nafas Islam, juga keterlibatan para wali dalam menyusun tembang, kidung, musik, hingga permainan anak-anak yang bernafaskan Islam. Asimilasi juga tampak pada arsitektur, misalnya bentuk atap masjid yang berundak tiga (simbol: iman, islam, ihsan) merupakan perubahan terhadap atap berundak tujuh yang dikenal dalam bangunan Hindu. Arsitektur Hindu masih tampak pada gerbang-gerbang masjid, juga ornamen-ornamen yang berasal dari kesenian Tionghoa.
(4) Tatanan masyarakat muslim dimulai dari kediaman wali yang menjadi pusat masyarakat, dengan masjid dan pesantren serta sebagai pemimpin dan sosok yang dituakan dan dihormati di masyarakat itu. Pengaruh wali yang nantinya terlihat pada kyai, tidak hanya pada dunia pesantren, namun juga pada masyarakat sekitarnya.

Proses islamisasi terbatas dan bukan arabisasi menjadi kunci sukses gerakan dakwah para Wali Sanga ini menghasilkan fenomena keislaman yang unik dan khas yang disebut oleh Ricklefs (sejarawan) dalam bukunya sebagai “Sintesis Mistik” (rekonsiliasi (perbuatan menyelesaikan perbedaan) identitas,keyakinan,dan gaya Jawa dengan islam). Dalam menerangkan “Sintesis Mistik” ini, menurut Ricklefs ada tiga pilar utama: (1) kesadaran identitas Islami yang kuat: menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim; (2) pelaksanaan lima rukun ritual dalam Islam: syahadat, shalat lima kali sehari, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu; (3) terlepas dari kemungkinan munculnya kontradiksi dengan dua pilar pertama, penerimaan terhadap realitas kekuatan spiritual khas Jawa seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu (roh Gunung Lawu yang pada dasarnya adalah dewa angin) dan masih banyak lagi makhluk adikodrati yang lebih rendah. Intinya telah terjadi adaptasi dan akulturasi antara kepercayaan terhadap ajaran Islam dan kepercayaan lokal yang terwujud juga dalam praktik sehari-hari.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, mulai abad ke-17 M muncul fenomena pembaruan yang bisa dipahami semacam upaya pemurniaan terhadap “Sistesis Mistik” ini. Gejala ini berupa ortodoksi keislaman dalam bentuk “neo-sufisme” yang dipengaruhi telaah hadits, pengaruh ilmu syariat (dalam hal ini fiqih) yang merupakan bentuk lain dari “sintesis baru” antara tasawwuf dan syariat yang telah didamaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin setelah sebelumnya dua aspek ini terjadi pertentangan dalam kasus misalnya Al-Hallaj dan Suhrawardi al-Maqtul, dua tokoh sufi yang dihukum mati oleh para ulama fiqih dengan tuduhan melanggar syariat. Dan untuk kasus tanah Jawa, munculnya Syaikh Siti Jennar yang dikabarkan dihukum mati oleh para Wali Sanga karena mengajarkan tasawwuf yang bertentangan dengan syariat.

Pada periode ini “Sintesis Mistik” mulai dirongrong dengan “sintesis baru” yang berasal dari “kawin-silang” antara tasawwuf dan syariat. Sebelum ini Nusantara tersebar “Sintesis Mistik” antara tasawwuf yang bisa disebut “falsafi” dengan kepercayaan-kepercayaan lokal. Tokoh-tokoh gerakan “Neo-Sufisme-Syariat” ini berasal dari para pelajar yang baru datang dari Haramayn (Makkah dan Madinah). Padahal sebelumnya para pelajar itu ke Haramayn membawa “sistesis mistik” dari daerah masing-masing akan tetapi di Haramayn menjadi semaca “melting pot” (panci pelebur) dari tradisi-tradisi “sintesis mistik” lama dan terbentuklah suatu “sistesis baru” yang condong pada “tradisi besar” (neo-sufisme: sintesis tasawwuf dan syariat). Nuruddin Ar-Raniri di Aceh mulai melarang ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Abd Samad al-Sumatrani, demikian pula di Jawa Tengah dengan kasus Kyai Mutamakkin yang diserang oleh Ketib Anom Kudus. Abd Shamad al-Palimbani “memurnikan” ajaran tasawwuf di Palembang, Muhammad Arsyad Banjari di Kalimantan Selatan, Yusuf al-Makassari di Sulawesi Selatan, dan Sayyid Alawi di Buton.

Namun yang perlu dicatat, perubahan dan pembaruan ini lebih banyak dalam proses damai, gradual, dan tetap terbatas, tidak dalam konteks yang radikal, ekstrim dan menggunakan kekerasan (kecuali contoh kasus Syaikh Siti Jennar di Jawa dan Haji Abd Hamid di Kalimantan Selatan yang lebih kental karena alasan politik). Perubahan ini berlangsung dalam jaringan para ulama yang melakukan pembaruan-pembaruan yang tidak radikal namun efektif dalam pola relasi dan pengaruh kyai terhadap santri-santrinya, antara syaikh dan para muridnya dalam tarekat, pengajaran-pengajaran kitabkitab standar yang berhaluan mendamaikan tasawwuf dan syariat yang dipelajari di pesantren-pesantren dan masyarakat dengan menyingkirkan kitab-kitab lama (kitab-kitab yang berhaluan tasawwuf wahdatul wujud).

Fenomena ini berlangsung berabad-abad sehingga nantinya muncul polarisasi dua aliran dalam masyarakat, yang dikenal sebagai “putihan” dan “abangan”. Yang pertama, ingin terus melakukan perubahan dari yang bertahap hingga yang radikal, dan sering disebut kalangan santri. Sedangkan kedua tetap ingin menekankan kontiuitas dengan lokalitas dan longgar dalam bersyariat. Sikap politik terhadap pemerintah kolonial Belanda menjadi salah satu tanda terpenting dari perbedaan dua golongan ini.

Sebagai penutup dari bagian ini, saya ingin mengutip pendapat KH Abdurrahman Wahid yang juga tertulis dalam buku ini tentang model hubungan Islam dengan kekuasaan dan budaya lokal yang terbagi menjadi 4 model di Nusantara:
1.     Pertama, model Aceh yang mengenal kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan besar, di sana adat ditundukkan oleh syariat Islam yang ditafsirkan sesuai kitab-kitab fiqih yang diakui.
2.    Kedua, model Minangkabau, dalam hal kekuatan adat dan syariat sama-sama berimbang yang termaktub dalam falsafah di sana “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
3.     Ketiga, model Jawa yang mengenal relasi multikratonik, terjadi keragaman pola kehidupan antara negara (kraton-kerajaan) dan pesantren. Selama pihak kedua mengakui kraton sebagai pusat kekuatan mereka dapat menjalankan progam-program seperti yang zaman sekarang disebut LSM (kelompok civil society). Pesantren basis santri sementara Keraton simbol Kejawen.
4.     Keempat, model Gowa yang merupakan asimilasi antara adat-adat praIslam dan Islam secara damai. Budaya-budaya lokal tetap menjadi identitas penting dalam berislam.

Pada akhirnya, tidak ada istilah yang tepat untuk menunjukkan keragaman identitas di Nusantara—baik dari pengaruh sejarah dan kawasan—selain istilah bhinneka. Nusantara adalah berbeda-beda, beraneka-ragam. Nusantara tidak mengenal identitas yang tunggal, identitas Nusantara adalah bhinneka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anestesi. What's that?

Assalamualaikum! Untuk first post di blog ini,saya mau membahas mengenai Anestesi. Kenapa saya membahas masalah ini? Yes,of course. Awal mulanya,ketika saya sedang menjenguk keluarga saya di rumah sakit. Saya mendengar perkataan dari sang dokter mengenai bius lokal,umum,dan regional. Entah mengapa,hal ini membuat saya merasa penasaran. And,finally,I'm googling (gak mungkin juga saya tanya dokternya).Dan ternyata.....Ketiga bius itu disebut dengan Anestesi. Sebelumnya,terima kasih untuk amazine.co.id dan kamuskesehatan.com yang telah memberikan saya informasi mengenai Anestesi. Dan sekarang,waktunya saya berbagi dengan kalian. Semoga bermanfaat!^^ ANESTESI. WHAT'S THAT? 1). Apa Anestesi itu? Yuk Simak!   Anestesi atau pembiusan adalah pengurangan atau penghilangan sensasi untuk sementara,sehingga operasi atau prosedur lain yang menyakitkan dapat dilakukan. Tidur dengan diindukasi anestesi,tidaklah sama dengan tidur biasa.Tetapi,suatu bentuk ketidaksadaran ...

Tulas-Tulis Madilog Tan Malaka

[RINGKASAN MADILOG] TAN MALAKA Halo teman-teman. Saya ingin berbagi mengenai buku yang telah saya baca. Tujuannya, tak lain tak bukan adalah melatih diri saya untuk tetap menulis. Selain itu, saya tidak ingin apa yang sudah saya baca lewat begitu saja. Semoga tulisan saya bisa dinikmati teman teman semua, ya. Terima kasih! MUKADIMAH----IKLIM Huft, baru di awal pengantar, rasanya kepala sudah cenat cenut. Namun, entah kenapa, hasrat untuk tetap melanjutkan itu selalu ada. Hidup kadang cuma wkkwk, tapi banyak huftnya, ya. Yang menarik dari bab ini adalah kalimat mutiara dari Tan Malaka yang sangat menyindir kaum-kaum konsumis berandalan seperti saya, haha. Kalimatnya gini: Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi. Hahaha, ya emang kayaknya Tan Malaka sudah banyak mengamati kondisi sosial kita yang berantakan ini. Dari bab ini, saya bisa menangkap kalau buku ini tidak co...

Kerudung dan Kesadaran Beragama

  Salam hormat untuk semua pembaca.   Isu jilbab/kerudung/hijab, atau istilah lain yang kepada masyarakat awam ketiganya dibuatlah pembedaan. Padahal, mungkin saja di kalangan awam, ketiga istilah itu tidak lagi perlu menjadi persaolan alot, apalagi menjadi term  penting untuk diklasifikasikan. Belakangan ini, bahkan belakangan di tahun lalu, atau bahkan di tahun-tahun sebelumnya, isu jilbab selalu muncul di beranda sosial media. Setiap kali ada seseorang yang dianggap memiliki andil penting dalam tatanan masyarakat, katakanlah selebriti/artis yang membuka jilbab atau baru saja mengenakan jilbab di usia yang tak lagi muda, pastilah akan menjadi sorotan masyarakat. Seolah olah hegemoni yang tersebar adalah bahwa dosa dan pahala seseorang ‘paling besar’ bila dia mengenakan/melepas jilbabnya. Tentu saja pandangan itu sah sah saja. Tiap orang memiliki freedom of speech -nya masing-masing. Apalagi kalau kebebasan berpendapatnya itu berlandaskan teks struktural yang bernapas ke...