Anak Milenial, Ga
Takut Menghadapi Tahun Politik?
Awam nge-tweet kejelekan capres sebelah,
giliran kejelekan capres sendiri terungkap, diem. Ini ndak papa. Namanya jg
awam. Tp kalau intelektual jg kayak gitu, ya nggilani. Mending fokus nge-tweet
kebaikan capresnya aja. Boleh nge-tweet keburukan lawan, asal keburukan diri jg
di-tweet. Begitu yang dituliskan oleh Sudiwo Tejo, seniman multitalenta
Indonesia yang terkenal akan kritik tajamnya pada 1 Februari 2019 di akun Twitternya.
Tahun
2019 memang sudah tidak perlu ditanyakan lagi kepanasannya. Politik, politik,
dan politik. Semua orang mengarahkan pandangannya ke sana. Dari yang tua sampai
yang muda, dari Sabang sampai Merauke, dari yang kaya sampai yang kere, dari kaum intelek sampai yang
gaptek, semuanya tertuju pada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang bakal memimpin negeri ini lima tahun mendatang. Ya, walaupun sebagian ada
yang tidak peduli, alias acuh tak acuh pada politik Indonesia.
Lalu,
apa korelasi antara tweet dari
Presiden Jancukers di atas dengan politik 2019? Media sosial bukan lagi tempat
asing bagi para netizen untuk mengungkapkan kebebasan berpendapat. Medsos,
terutama Twitter memang sengaja diperuntukkan untuk menyalurkan aspirasi
masyakat kepada pemimpin. Hal ini mulai diberlakukan sejak era pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Namun tampaknya, fungsi dari medsos kini melenceng jauh dari
asal muasalnya. Kini, medsos berubah menjadi tempat terbaik untuk “mengoceh”,
saling mencaci, dan mengungkapkan keburukan.
Dari
deretan sepuluh besar tagar yang bersandar di Twitter, tujuh di antaranya
selalu membicarakan politik Indonesia setiap harinya. Tagarnya beragam, seperti
#BaliMemilihPrabowoSandi, #JatimMenangkan Jokowi, #17AprilGantiPresiden,
#WaniJokowiLagi, dan lain sebagainya. Kelihatannya, tagar tersebut hanya berisi
dukungan semata, tapi jangan kaget bila membuka isi tagar tersebut. Sebgaian
besar orang yang nge-teweet dengan
tagar tersebut meninggalkan jejak hinaan kepada salah satu paslon yang tidak
didukung.
Kaum
awam yang meninggalkan jejak hinaan sudah sering ditemui di media sosial.
Merekam berlomba-lomba menggunakan tagar agar masuk trending topic of the day. Secara tidak langsung, mereka telah menajadi
tim kampanye tak berbayar. Mereka rela mendukung calon presiden dan wakil
presideng yang mereka usung tanpa mendapat upah sedikitpun. Perjungan mereka
sederhana, hanya memngumbar aib-aib salah satu paslon tanpa mengeluarkan tenaga
yang berlebih. Bukanlah hal betul atas apa yang mereka lakukan. Jelas, hal ter
tersebut sangat merugikan salah satu paslon.
Namun
yang lebih mencengangkan adalah ketika kaum intelek mengumbar aib dari paslon
yang tidak mereka dukung. Kalau kaum intelek yang berbicara, sudah pasti banyak
orang akan percaya, Hal tersebut harus benar-benar dihindari. Akan lebih baik
bila pengusung paslon membicarakan kabaikan paslonnya. Jadi, mereka
tidaksepantasnya mengumbar kejelkan palsoj yg tidak mereka dkung.
Tahun
2019 memang panas. Akan tetapi, hati dan
pikiran anak milenial tidak boleh panas. Anak milenial harus cerdas dalam
menghadapi tahun politik. Jangan ikut-ikutan kaum awam yang sukanya nyinyir,
aplagi ngikutin kaumintelek yang suka mengumbar kejelekan salah satu paslon.
Cerdaslah berpolitk. Apabila hendak mengumbar aib orang lain, umbar pula aibmu.
Komentar
Posting Komentar