Salam hormat untuk semua pembaca.
Isu jilbab/kerudung/hijab, atau istilah lain yang kepada masyarakat awam ketiganya dibuatlah pembedaan. Padahal, mungkin saja di kalangan awam, ketiga istilah itu tidak lagi perlu menjadi persaolan alot, apalagi menjadi term penting untuk diklasifikasikan.
Belakangan ini, bahkan belakangan di tahun lalu, atau bahkan di tahun-tahun sebelumnya, isu jilbab selalu muncul di beranda sosial media. Setiap kali ada seseorang yang dianggap memiliki andil penting dalam tatanan masyarakat, katakanlah selebriti/artis yang membuka jilbab atau baru saja mengenakan jilbab di usia yang tak lagi muda, pastilah akan menjadi sorotan masyarakat. Seolah olah hegemoni yang tersebar adalah bahwa dosa dan pahala seseorang ‘paling besar’ bila dia mengenakan/melepas jilbabnya.
Tentu saja pandangan itu sah sah saja. Tiap orang memiliki freedom of speech-nya masing-masing. Apalagi kalau kebebasan berpendapatnya itu berlandaskan teks struktural yang bernapas keagamaan. Memang tidak diragukan lagi, bahwa berjilbab adalah kewajiban seorang muslimah, bahkan Al Quran sebagai fatwa Allah membenarkannya. Yang menjadi rancu adalah, ‘penggunjingan’ sekaligus pembencian terhadap orang yang melepas jilbabnya, ataupun rasa ‘terlalu kagum’ terhadap seseorang yang baru saja mengenakan jibab.
Bayangkan saja, di tengah hiruk pikuk polemik kemiskinan dan ketidakmerataan pendidikan yang ada di negeri tecinta ini (yang tak kunjung selesai), serta belum lagi masalah korupsi yang selalu dilakukan diam diam oleh tikus-tikus bajingan, kita malah mendominasikan diri untuk membahas isu yang sangat subjektif dan personal dari (mungkin saja) satu orang. Isu isu ini selalu terjadi dan repetitif setiap tahunnya. Seolah-olah sebagai 'hiburan' dari banyaknya masalah besar di tanah air.
Penulis sendiri tidak ingin banyak bicara tentang ini. Namun, kiranya penulis ingin mengarahkan para pembaca untuk merefleksi kembali hal-hal yang memang pantas untuk dibicarakan secara terbuka, ataupun hal hal yang elegan untuk tidak dibicarakan karena alasan personalitas dan subjektifitas masing-masing orang.
Berikut penulis akan melampirkan esai dari Gusdur terkait isu hijab yang tak kunjung mengalamai titik temu argumentasi. Esai ini berjudul “Kerudung dan Kesadaran Beragama”. Semoga dengan ini, dapat membuka banyak pikiran dan hati yang dewasa dan lapang.
Selamat membaca.
Kerudung dan Kesadaran Beragama
Kerudung adalah ‘pemandangan’ biasa di kalangan kaum muslimin yang taat beragama. Tidak semua perempuan muslim, dikenal dnegan sebutan muslimat, menggunakannya. Namun, porsi pemakaiannya cukup besar guna melekatkan predikat ‘biasa’ di atas. Ke pasar, rumah sakit, masjid, maupun ke pesta dan upacara. Pendeknya, ke semua keperluan di luar rumah, kerudung selalu dipakai. Begitu juga di rumah, kalau sedang ada tamu,
Ada yang yang warna-warni, terkadang dihiasi renda dan sulaman indah; ada juga yang polos, hanya pinggirannya saja yang disentuh benang jahitan. Ada yang memang dipakai menutup rambut seluruhnya, tetapi tidak kurang pula hanya disangkutkan saja di bahu, sampai menghalangi pandangan mata ke seluruh sanggul yang memahkotai kepala. Apalagi kalau sanggul disasak lebar-lerbar, dengan diameter tidak kurang dari ban skuter Vespa atau Bajaj! Biasanya yang begini adalah tanda krisis identitas; tidak berani meninggalkan identitas diri sebagai muslimat, tetapi enggan disebut kampungan.
Tidak disangka tidak dinyana, peggunaan kerudung dapat juga menimbulkan pertentangan pendapat, antara mereka yang menentang dan yang mempertahankan, tidak terduga sebelumnya, kerudung dapat menjadi titik sengketa, fokus sebuah konflik sosial.
Padahal, tadinya masalah penggunaan kerudung dianggap masalah sepele saja. Yang kuat bertahan pada identitas ‘kesantrian’ terus memakainya, sedangkan yang sudah tidak merasa perlu tentu meninggalkannya, juga ada peragu yang menggunakannya di atas bahussewaktu ada pesta atau upacara.
Apakah gerangan yang membuat pemakai kerudung menjadi masalah peka, padahal sekian lam ia ‘dibairkan’ pada keputusan pribadi masing-masing di kalangan muslimat?
Masalahnya berkisar pada munculnya kerudung itu sendiri sebagai simbol. Selama ini, simbol tersebut, simbol ketaatan beragama bagi yang memakai dan simbol ‘kekampungan’ bagi yang tidak mengenakannya, hidup berdampingans secara damai. Masing-maing berkembang di dunianya sendiri, bagaikan polisi dan pencuri, seirama dengan pelapisan masyarakat yang begitu ruwel dan kompleks. Tidak pernah ada pertentangan terbuka, tidak pernah didiskusikan perlu atau tidaknya menggunakan kerudung. Apalagi dilokakaryakan atau disemianarkan.
Masalahnya menjadi berbeda ketika berkembang sebuah kesadaran baru di kalangan kaum remaja muslim. Mereka dalah generasi yang serius melihat segala sesuatu dalam hidup ini, dari jerawat di pipi hingga pandangan hidup yang diidealkan masing-masing. Begitulah, ketika seorang anutan yang dianggap memiliki wewenang penuh untuk merumuskan ‘kebenaran agama’ memerintahkan remaja asuhannya untuk memelihara ‘aurat’ berdasarkan ketentuan Islam. Dengan serta merta anjuran ini diikuti, termasuk oleh siswi SMA dan lalu mereka mengenakankerudung di lingkungan sekolah. Sudah tentu ini ‘peamandangan’ tidak baisa, jauh dari ‘kebiasaan’ berseragam sekolah tanpa tutup kepala sama sekali.
Dua hal ‘dilanggar’ oleh perbuatan itu. Pertama, ‘konsekuensi’ selama ini, yang juga tidak begitu didasari dahulu, bahwa kerudung bukanlah yang ‘layak’ untuk siswi-siswi sekolah non-agama. Kedua, kecenderunagn pada uniformitas sikap dan perilaku, yang coba untuk ‘ditegakkan’ oleh lingkungan pendidikan nasional kita, dari pesuruh sekolah sampai ke Menteri P dan K, besar sekali tampaknya kecenderungan untuk menyeragamkan pandangan, sikap, dan perilaku ‘keluarga besar pendidikan ansional’.
Sudah tentu ‘konsesus’ dan kecenderungan di atas segera mengeluarkan reaksi balik atas prakarsa siswi SMA yang menggunakan kerudung pergi ke sekolah itu ,dapat diterka, senjata utama yang ang digunakan pihak pimpinan sekolaha dalah ‘pelanggaran disiplin’. Benar saja, atas dalih itu sang siswidikeluarkan dari sekolahnya.
Pemecatan dapat dilakukan, selama ada kesamaan pandangan anatara pihak ‘penegak disiplin’ dan pihak pihak lain di luarnya. Dengan demikian, pemecatan hanya dapat dialkukan dalam kasus-kasud di mana ada kejelasan bahwa si ‘pelanggar disiplin’ memang bersalah atas persetujuan universal semua pihak.
Kesulitannya adalah kalau cukup banyak jumlah orang yang tidak sependapat, seperti dalam kasus kerudung di Bandung baru-baru ini. Lalu disebutkanlah hal-hal yang meragukan kebenaran tindakan disipliner yang dijatuhkan atas diri ‘siswi berkerudung’ itu. Pelanggaran hak peribadi sang siswi untuk mengenakan pakaian yang disenanginya, tuduhan pimpinan sekolah bersikap ‘memusuhi Islam’ dan tuduhan-tuduhan lainnya, semua dilemparkan seenaknya.
Apa yang dilupakan kebanyakan orang adalah penglihatan global terhadap masalah kerudung itu ia tidak lain adalah pencerminan dari kuatnya tuntunan di kalangan remaja muslim, agar ajaran Islam dilaksanakan secara tuntas dan konsekuen. Ia adalah bagian dari ketekunan yang semakin bertambah untuk meramaikan masjid, merumuskan sikap Islam terhadap berbagai masalah dan keberagaman terhadap apa yang digeneraliasai sebagai ‘pandagan-pandangan sekularistik’ di kalangan kaum muslimin sendiri. Kasus kerudung itu adalah bagian dari meningkatnya kesadaran beragama di kalangan kaum remaja muslim dewasa ini.
Kesadaran itu muncul dari banyak sebab. Di antaranya adalah kekecewaan terhadap kebangkrutan teknologi fan ilmu pengetahuan modern, yang diredusir kedudukannya menjadi hamba kekuasaan modal saja, tanpa membawa perbaikan mendasar atas tingkat kehidupan manusia. Juga kekecewaan melihat terbatasnya kemampuan umat manusia untuk mencari pemecahan hakiki atas persoalan-persaolan utama yang dihadapinya. Tidak kurang pentingnya adalah kekecewaan mereka terhadap kegagalan elite kaum muslimin di seluruh dunia, yang tifak mampu meningkatkan derajat agama mereka di hadapan tantangan ‘pihak luar’ terhadap Islam.
Dapat dimengerti kalau kesadaran itu juga mempunyai imbas fisiknya atas perilaku para remaja muslim di mana-mana, termasuk mereka yang lalu memelihara jenggot dan memakai kerudung. Perilaku seperti itu tidak sepatutnya diremehkan dan disepelekan karena ia merupakan bagian dari kesarandan untuk menegakkan Islam sebagai ‘jalan hidup’. Boleh kita tidak setuju dengan aspirasi holistik seperti itu. Namun, diahargai sebagai upaya untuk menemukan Islam dalam kebulatan dan keutuhan, jadi motifnya berwatak transdental.
Jika ‘tindakan disipliner’ atas ‘pelanggaran gadis bekerudung’ di salah satu SMA di Bandung itu tiddak diperhitungkan dari sudut kesadaran beragama ini, terlepas dari keputusan apa yang diambil maka sebenarnya tindakan itu tidak memecahkan masalah. Ia hanya menunda atau memindahkan persoalannya saja. Kasus-kasus serupa akan tetap muncul, dengan intensitas dan implikasi yang mungkin semakin gawat bagi masa depan kita semua sebagai bangsa.
Referensi: Esai K.H. Abdurrahman Wahid “Kerudung dan Kesadaran Beragama” dalam Buku “Tuhan Tidak Perlu DIbela”
Komentar
Posting Komentar